Jumat, 24 Mei 2013
My Love
Bulan ini, Indonesia sedang memasuki musim hujan. Biasanya hujan turun dengan lebat di siang menuju sore hari. Tetapi, pagi ini berbeda. Hujan turun rintik rintik semenjak aku berangkat ke kantor tadi pagi. Usai mengantarkan Amel dan Rasyid berangkat sekolah, aku segera bergegas menuju tempat praktek. Jam dinding di ruangan periksa menunjukkan pukul 10.05 WIB. Kuintip pasien yang duduk duduk di ruang tunggu. Ternyata memang cukup banyak pasien yang telah menunggu untuk di periksa. Berbagai keluhan mengenai gigi pasien sudah seperti sarapan bagiku. Mulai dari yang biasa biasa seperti karang gigi, hingga yang parah seperti kanker lidah, pernah aku tangani.
Sebenarnya tadi aku sempat tidak ingin berangkat kerja. Perasaanku begitu tidak enak, seperti ada firasat sesuatu akan terjadi hari ini. Tetapi aku paksakan berangkat, mengingat banyaknya pasien yang telah membuat appointment untuk bertemu. Pasien pertamaku hari ini seorang gadis kecil berumur 5 tahun. Ia memakai baju berwarna pink dengan legging berwarna pink tua. Tasnya berwarna pink juga, serasi dengan hiasan rambutnya. Tingkahnya yang lucu mengingatkanku pada si sulung Amel 5 tahun lalu. Kini Amel menginjak kelas 4 SD, sedangkan adiknya, Rasya, memasuki tahun ke-duanya di SD.
Tiba-tiba ponselku berdering melantunkan lagu Westlife favoritku, My Love. Ah, setiap mendengar lagu itu aku teringat salah satu momen terindah dalam hidupku. Donny, yang saat itu masih menjadi pacarku, menyanyikan lagu my love di tengah kencan kami. Di akhir lagu ia memegang erat tangan kiriku, seraya tangan kanannya menyodorkan sebuah kotak berisi cincin emas putih. Ia berbisik, “Will you marry me?” .
Tersadar dari lamunan, segera aku angkat ponselku. Ternyata, dari nomor yang tidak kukenal.
“Halo, selamat pagi...”, sapaku ramah.
“Pagi. Benar ini nomor Ibu Ratih?”, jawab suara di seberang sana, terdengar serius.
“Iya benar, maaf ini dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu?”, jawabku lagi dengan sedikit rasa cemas.
“Saya Martin Bu, teman kantor Pak Donny. Saya ingin mengabarkan, bapak tadi pingsan saat rapat, saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Sehat Sentosa”
Bagaikan terkena petir di siang bolong, mendengar kabar dari Pak Martin barusan. Tanganku gemetar, badanku lemas. Aku tak ingat lagi menanyakan kondisi terakhir suamiku ataupun sekadar mengucapkan terima kasih atas informasi yang diberikan. Berbagai dugaan memenuhi pikiranku sekarang. Setengah berlari aku menuju mobil sambil menjelaskan sekilas apa yang terjadi kepada asistenku.
***
“Ratiiiih. Tiiiih... Tunggu, ini ada undangan untuk kamu”, kata Diana yang berlari-lari kecil ke arahku.
“Undangan apa? Kamu mau nikah ya? Sama mas yang mana, mas TNI atau kakak kelas yang itu?”, godaku sambil tersenyum nakal.
“Hussh. Siapa yang mau nikah? Wah, keterlaluan kamu Tih, kamu ga ingat tanggal ulang tahunku? Sebenarnya aku mau ngundang kamu ke pesta ulang tahunku besok malam, tapi ya hmm.... Bagaimana ya...”, jawab Diana sambil menunjukkan cemberut yang dibuat-buat.
“Hahaha... Ga mungkinlah aku lupa sama ulang tahun sahabat sendiri. Aku bahkan udah nyiapin gaun khusus buat pestamu.”, jawabku sambil setengah tertawa.
“Wah, baguslah kalo gitu. Awas ya kalo ga dateng, nyesel.. Aku mau ngenalin kamu sama temen kakakku yang ganteng ganteng”, giliran Diana yang tersenyum nakal.
“Iyaaa. Yaudah ya Din, aku pulang dulu. Bye..”, ujarku sambil melambaikan tangan.
“Bye... Hati hati di jalan ya Tih.”,ucap Diana sambil melambaikan tangan.
Esoknya, aku bersiap siap mengenakan gaun merah marun yang telah kubeli beberapa hari sebelumnya. Di pesta, mataku menangkap lirikan seorang pria terhadapku. Ternyata dia adalah teman kakaknya Diana. Di tengah pesta, Diana mengenalkanku kepada pria tersebut. Namanya Donny. Nama yang bagus, pikirku saat itu.
Beberapa minggu setelah pesta, tiba tiba aku mendapat telepon dari Donny. Ia mengajakku bertemu. Kita berjanji bertemu di sebuah kafe di ujung Jalan Yos Sudarso, Surabaya. Ternyata Donny orang yang sangat ramah, lucu, dan sederhana. Aku paling suka sifat sederhananya itu. Dia menanyakan pertanyaan klise seperti, ‘jalan sama aku gini, apa ga ada yang marah?’ , ‘adek kalau kuliah biasanya ada yang jemput?’, rasanya aku tahu ke mana maksud pembicaraan ini. Hatiku berdebar, rasanya seperti ada ribuan tangan memukul-mukul dada.
Setelah pertemuan pertama di cafe, Donny semakin sering menghubungiku, entah itu lewat telepon asrama ataupun lewat surat. Suatu hari, ia mengutarakan perasaannnya. Tentu saja aku menyambutnya, karena diam diam akupun menyukainya. Hubungan kami sempat putus di tengah jalan ketika ia mulai bekerja di Jakarta sebagai staf bagian keuangan sebuah cabang perusahaan minuman kemasan internasional.
Tak disangka sangka, akupun berkesempatan magang di kota Jakarta, dengan harapan bertemu kembali dengan Donny. Harapanku terwujud. Saat aku hendak mengambil hasil foto panoramic seorang pasien, tiba-tiba aku berpapasan dengan Donny. Hatiku sungguh bahagia dan haru, semua menjadi satu. Kerinduanku terbayar. Tetapi kebahagiaan itu hancur seketika aku melihat siapa yang ada di sampingnya, seorang wanita muda yang sedang hamil besar. Wanita itu tersenyum, aku membalasnya dengan senyum tipis. Segera aku membalikkan badan, setengah berlari menuju ruangan manapun yang terdekat. Di balik punggungku aku mendengar Donny terus memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli lagi, mataku terasa berat.
Esok paginya, aku berangkat ke kantor dengan mata sembab. Semalaman aku meratapi nasib, mengapa aku sampai menaruh harapan terhadap pria beristri. Baru saja aku keluar dari lift di lantai tempat aku bekerja, kulihat Donny sudah berdiri di depan kantorku.
“Dek, kenapa kemarin kamu buru buru ninggalin mas? Kita kan baru saja bertemu sejak mas ditugaskan di Jakarta.”, kata Donny terlihat cemas.
“Sudahlah mas, buat apa kita bertemu lagi. Aku mengerti ko. Tidak perlu basa-basi.”, ujarku sambil memalingkan muka.
“Loh dek, kenapa? Apa salah mas? Hmm.. Apa kamu cemburu dengan wanita yang kemarin?, ucap Donny.
Mendengar itu darahku mendidih. “Apa maumu mas? Aku banyak kerjaan. Sudah ya mas.”, ujarku sambil berlalu
“Tih..Ratih... Kamu harus dengar penjelasanku!”,teriak Donny.
Aku tidak bergeming. Satu hari, dua hari, sampai seminggu Donny terus datang ke kantor. Tidak sekalipun aku mengacuhkan kedatangannya. Suatu hari, sepucuk surat tergeletak dengan rapi di atas meja. Surat itu dari Donny. Isinya menjelaskan bahwa wanita yang bersamanya tempo hari merupakan istri atasannya di kantor. Ia menemani wanita tersebut karena atasannya bertugas ke luar negeri, sedangkan istrinya hamil tua, dan perlu pemeriksaan rutin ke dokter.
Setelah membaca surat itu, hatiku lega. Di sisi lain akupun merasa bersalah, telah berpikiran negatif dan menolak untuk mendengarkan penjelasan Donny. Esoknya Donny kembal datang ke ruang kerjaku, dan aku menerimanya dengan senang hati. Dari sanalah hubungan kami kembali harmonis, hingga akhirnya Donny melamarku. Dia memang romantis dan selalu mencoba mengerti keinginanku. Tak jarang ia membawakan bunga saat kami berkencan. Begitu pula saat melamar, ia membawakan lagu kesukaanku, My Love, di cafe ujung Jalan Yos Sudarso, tempat pertama yang kami kunjungi berdua.
Setelah lamaran informal di cafe, keluarga Donny datang ke rumah,dan menyampaikan lamaran secara resmi. Saat Ayahku menanyakan bagaimmenjadi pertim ana pendapatku, aku diam saja. Keluargaku menganggap diamnya aku sebagai tanda setuju, kemudian melanjutkan pembicaraan tentang hari baik dan sebagainya. Maklumlah, sebagai masyarakat jawa, banyak hal yang sering menjadi pertimbangan untuk mengadakan acara besar seperti ini.
Sebelum pulang, Ibunya Julian sempat berbicara denganku.
“Nduk, kowe ngerti anakku wis suwe?”, kata Ibu Donny.
Dalam hati aku memaki diriku sendiri, mengapa aku tidak mempelajari Jawa Kromo sedari dulu. Keluargaku sudah terbiasa berbicara dengan Bahasa Indonesia, ataupun Bahasa Jawa Ngoko, meskipun dari anak ke orang yang lebih tua. Sedangkan umumnya Bahasa Jawa Ngoko digunakan untuk berbicara dengan lawan bicara yang seumuran ataupun teman.
“Ehm. Aku ngerti durung suwe, saka kancaku”, jawabku asal.
“Oh..ngono tho. Hmm..”, jawab Ibu Donny, raut mukanya berubah.
Akhirnya aku memutuskan menggunakan Bahasa Indonesia saja. “Bagaimana perjalanan Ibu semalam? Macet?”, ujarku berharap Ibu tidak tersinggung.
“Lancar ko nak. Ibu ke kamar dulu ya nak, mau istirahat.”, kata Ibu menutup pembicaraan.
“Oh, iya Bu.”, jawabku.
Waktu berlalu begitu cepat. Tiba tiba saja aku dan Donny telah merayakan ulang tahun pernikahan kesepuluh. Kami jarang bertengkar karena suamiku selalu sangat sabar meladeni sifatku yang tak sabaran dan mudah melontarkan penilaian terhadap orang lain. Banyak orang yang diam-diam tidak suka dengan sifatku yang mudah menilai orang itu, bahkan aku dicap sombong di lingkungan rumah. Donny seringkali mengingatkan aku untuk mawas diri dan mengurangi sifatku itu. Memang ada beberapa saat aku dan dia bertengkar hebat, salah satu penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri.
Semenjak pertama bertemu, memang hubungan kami tidak terlalu baik. Ibu terlalu ikut campur dalam pernikahan kami dan itu sering membuatku jengkel. Ternyata begitupun Ibu. Insiden penggunaan bahasaku yang kurang sopan membuat penilaian pertamanya tidak begitu bagus. Kami pun jarang bertemu karena sibuknya suamiku. Aku hanya bertemu Ibu saat lebaran tiba, karena biasanya kami sekeluarga datang berkunjung ke Kota Blitar. Kadang, saat suami mendapat tugas luar ke negara lain, aku diajak serta. Otomatis, Amel dan Rasyid, buah cinta kami, harus ada yang menemani. Jadilah setiap kami pergi, Ibu datang ke rumah kami. Aku tidak suka Ibu memasak yang aneh-aneh. Menurutku vitamin dan makanan yang aku siapkan sudah lebih dari cukup untuk kedua anakku. Saat aku jengkel, Donny senantiasa mengingatkan bahwa Ibunya adalah single parent sedari ia muda dengan anak tunggal. Dia melakukan berbagai hal hanya untuk memastikan keturunannya mendapatkan yang terbaik.
***
Sesampainya di rumah sakit, hatiku semakin tidak menentu. Rekan kerja suamiku menyambutku di pintu masuk. Kemudian aku diarahkan ke ruangan suamiku. Mereka terus mengucapkan kata kata penyemangat.
Aku sampai di depan suatu ruangan. Sejujurnya aku tak ingin percaya terhadap apa yang aku lihat dan dengar. Di lorong tadi, Pak Gatot, tangan kanan Donny, menjelaskan kondisi terakhir suamiku. Aku segera mengabarkan Ibu, ia menginginkan suamiku dimakamkan di Blitar, agar dekat dengan kediamannya.
Akhir-akhir ini Donny memang diketahui memiliki penyakit jantung, tetapi aku tak menyangka ia akan pergi secepat ini. Duniaku mendadak berubah kelabu, aku begitu shock sampai air mataku tak kunjung keluar. Pikiranku entah ada di mana. Beruntung Pak gatot dan tetangga rumah sangat tanggap menyiapkan pengurusan jenazah dan keberangkatanku ke Blitar. Amel dan Rasyid segera kujemput ke rumah, mereka tampak sama kagetnya denganku.
Aku tak mengingat detil semenjak aku pulang dari rumah sakit, yang aku ingat tiba tiba aku sampai di depan rumah Ibu. Entah mengapa aku seperti menemukan teman seperjuangan, tangan yang terbuka lebar untukku mencurahkan rasa ini. Aku menangis di pelukan Ibu dengan kencangnya, lama, hingga aku jatuh pingsan
***
Langganan:
Postingan (Atom)